Pernyataan Sikap Atas Pelecehan Pekerja Perempuan di PT Bintang Morowali Sejahtera

Deloo.id, Morowali – Nasib tragis tengah menyelimuti 5 pekerja perempuan PT. Bintang Morowali Sejahtera (BMS). Setelah dilecehkan oleh seorang HRD di tempat kerja, mereka malah mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK) dari manajemen PT. BMS.

Alasan PT. BMS mem-PHK sialnya adalah alasan absurd: hanya karena 5 pekerja perempuan tersebut telah dilaporkan oleh seorang HRD (pelaku) kepada kepolisian dengan dalih nama baik pelaku tercemar.

Perusahaan mengaku tak mau mempekerjakan pekerja yang telah tersandung kasus kriminal–alasannya juga karena ‘nama baik’ akan tercoreng–sekalipun perusahaan telah memecat HRD itu sebelumnya.

Padahal para pekerja perempuan tersebut masih mau bekerja. Tapi, sikap perusahaan seolah membenarkan sikap pelaku pelecehan seksual.

Jika merujuk dari rilis Federasi Serikat Pekerja Industri Merdeka (FSPIM) sebelumnya, kita mendapati cerita kalau para pekerja yang di-PHK tersebut pernah ditanyakan: apakah pernah berhubungan badan, pegangan tangan, ciuman, pernah dipeluk, serta pertanyaan maupun pernyataan melecehkan sejenisnya. Yang menanyakan hal tersebut adalah si HRD-nya yang cabul juga.

Semakin lama pelecehan ini terus berulang. Pelecehannya berupa perkataan seksis plus body shaming. Selain dilecehkan melalui perkataan (verbal), mereka juga dilecehkan secara non verbal, seperti menyentuh tanpa izin: memegang tangan, pundak, dipiting dari belakang, sampai ada yang dicolek di pinggang.

Setelah kejadian pelecehan FSPIM (Federasi Serikat Pekerja Industri Merdeka) telah mendampingi korban dalam proses perundingan bipartit dengan perusahaan pada Rabu, 10/09/2025. Hasilnya, Kepala HRD (pelaku) mengundurkan diri dari jabatannya.

Namun, satu bulan kemudian, lima orang pekerja, termasuk saksi-saksi kasus ini, menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain melakukan pembiaran atas kasus pelecehan seksual, PT. BMS juga abai terhadap hak-hak dasar 5 pekerja tersebut seperti: upah yang tidak sesuai, lemburan tidak dibayarkan, dan hak cuti dipangkas seenaknya.

Untuk diketahui bersama, Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) Morowali saat ini berada di angka Rp 3.957.673. Nominal ini juga dilaporkan sebagai upah pokok ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) setempat.

Namun, ada pekerja yang melapor bahwa upah yang diterimanya hanya Rp 3.600.000, bahkan ada yang hanya berada di angka Rp 2.800.000. Miris.

Sedangkan jam pekerja perempuan itu dalam sebulan mereka kerja full dan hanya sehari diberikan off. Jam kerjanya dimulai pada 07.00 pagi dan pulang 18.00 sore, istirahatnya 1 jam.

Total mereka bekerja 11 jam, tapi yang dibayarkan ke mereka hanya 8 jam, artinya ada 3 jam kerja tidak terbayarkan. Itu pun terkadang mereka ada yang pulang lambat sampai melewati jam 18.00 sore, sekalipun sudah lembur tapi tidak dibayar.

Mereka diwajibkan pulang ke rumah membawa laptop karena sewaktu-waktu apabila HRD meminta buat surat, laporan atau perintah lainnya HRD akan menghubungi lagi walau di luar jam kerja.

Dan ini sekali lagi tidak masuk lemburan dan tidak dibayarkan. Untuk cuti mereka mesti kerja 3 bulan baru bisa cuti. Cutinya hanya 1 minggu, itupun kalau mangkir atau alpa dan izin, cutinya yang seminggu dipotong lagi oleh perusahaan sesuai dengan izinnya.

Jadi ketika dalam sebulan pekerja mangkir/alpa dan izin sampai seminggu, maka hak cutinya ditiadakan. Berdasarkan uraian di atas, kami yang tergabung dari BURASA (Buruh-Rakyat Semesta). Tuntuan kami adalah:

1. Pemulihan hak korban dan saksi-saksi, termasuk pencabutan surat PHK terhadap 5
(lima) pekerja yang menjadi saksi kasus ini.

2. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelecehan seksual sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(TPKS) dan peraturan lain yang berlaku.

3. Tanggung jawab PT. Bintang Morowali Sejahtera untuk menciptakan lingkungan kerja
yang aman, sehat, dan bebas dari pelecehan serta diskriminasi.

4. Keterlibatan aktif Dinas Tenaga Kerja dan instansi terkait untuk memfasilitasi
penyelesaian kasus ini dan memastikan tidak ada intimidasi, ancaman, atau
pemutusan kerja terhadap korban dan saksi.

5. Perlindungan hukum dan psikologis bagi korban dan saksi selama proses hukum
berlangsung.

6. Penerapan sanksi administratif maupun hukum terhadap pihak perusahaan apabila
terbukti lalai dalam mencegah atau menindak kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja.

Olehnya, berdasarkan uraian di atas, kami dari BURASA (Buruh Bergerak Bersama Rakyat) gabungan dari Federasi Serikat Pekerja Industri Merdeka (FSPIM), Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Solidaritas Perempuan (SP) Palu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah, Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia, Perkumpulan Sembada Bersama Indonesia, Forum Belajar Buruh Tambang Lintas Pulau, Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST), RASERA Project, Forum Sumbu Panjang, Ekonesia, Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Suara Muda Kelas Pekerja (SMKP), Partai Buruh, Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION) Indonesia, Kolektif Puanifesto, Kalyanamitra, Federasi Serikat Pekerja Jasa dan Keuangan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, Emancipate Indonesia, Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Komite Politik Nasional, Perempuan Mahardhika, Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (Safety Indonesia), Rumpun Gema Perempuan, Serikat Pekerja Rumah Tangga Tangerang selatan, Serikat Pekerja Rumah Tangga Condet Jaktim, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Maluku Utara, Serikat Pekerja Kampus (SPK), Think Inc Indonesia Legal Office, Federasi Pertambangan dan Energi (FPE – KSBSI), Rumah Muda Integritas, Legal Femme, Serikat Pekerja Nasional (SPN), Komite International Women’s Day Tulungagung, Jaringan Orang Muda untuk Kerja Layak dan Inklusif (JARUM KAYU).

 

Penulis:

Winatsih

Ketua Departemen Perempuan FSPIM KBPI 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *