Deloo.id, Jakarta – Komunitas Perempuan Berkebaya (KPB) berkolaborasi dengan rumah produksi film SinemArt, Tarantella Pictures, The Big Picture, dan Women’s Crisis Center (WCC) Puantara membongkar tabir permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Aktris sekaliber Ayu Azhari terlibat dalam acara bertema ‘KDRT di Sekitar Kita, Apakah Kita Sadar?’ itu. Selain ajakan menonton bareng, judul ini menjadi alarm keras yang memecah ruang-ruang tabu yang selama ini menenggelamkan suara korban.
Sutradara Viva Westi menegaskan bahwa film ini dibuat dengan ketelitian emosional, melibatkan banyak perempuan dalam tim produksinya.
Dalam film ini juga menampilkan empat bentuk KDRT paling umum namun paling sering dinormalisasi, yaitu penelantaran nafkah, kekerasan verbal, kekerasan fisik, serta pemerkosaan dalam pernikahan.
“Film ini lengkap menggambarkan bagaimana KDRT bekerja sebagai lingkaran yang sulit diputus. Korban dan pelaku sama-sama terjebak dalam siklus yang menghancurkan,” ujar Viva di sebuah kesempatan kemarin.
Ia menegaskan film ini dibuat untuk mendidik perempuan, memberikan rambu, tempat mengadu, serta tanda-tanda bahaya yang sering disembunyikan rapat.
Ayu Azhari yang menjadi bagian pemeran menolak normalisasi KDRT dalam bentuk apapun.
“Kita harus berhenti menormalisasikan perilaku apa pun yang mengarah pada KDRT. Pola itu diwariskan turun-temurun dan harus diputus sekarang,” ia menuturkan.
Ayu, yang terlibat dalam pengawalan UU Anti-KDRT, bahkan menyerukan agar pemerintah mempertimbangkan kursus pranikah bersertifikat sebagai syarat wajib sebelum menikah.
“Pencegahan jauh lebih penting daripada sekadar menyembuhkan luka yang sudah terjadi,” tegasnya.
Ketua Pembina WCC Puantara Siti Mazumah memaparkan fakta-fakta mengejutkan bahwa KDRT masih dianggap tabu, korban sering disalahkan, stigma membuat mereka kembali ke siklus kekerasan, negara wajib menjamin hak perlindungan korban, termasuk ancaman hukuman bagi pelaku hingga 15 tahun penjara.
“KKesadaran masyarakat adalah kunci. Tanpa itu, korban tidak akan pernah benar-benar bebas,” ujarnya.
Diskusi berlangsung panas. Perwakilan dari berbagai komunitas mulai dari Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI), Komunitas Notaris Indonesia Berkebaya (KNIB), hingga Arunika mengajukan pertanyaan mendalam tentang pola, pencegahan, dan hukum terkait KDRT.
Sutradara dan produser Sharad Sharan menegaskan bahwa film ini dibuat untuk mengguncang dunia.
“Saya berharap film ini membawa perubahan. Tidak ada satu pun perempuan yang boleh dibungkam. Semua yang terlibat dalam film ini adalah perempuan,” kata Sharad.
Film tersebut saat ini bahkan sedang bersaing di Berlin Film Festival, membawa isu KDRT Indonesia ke panggung global.
Ketua KPB Lia Nathalia menyebut kegiatan edukasi ini bagian dari misi komunitas untuk meningkatkan keberdayaan perempuan.
“Isu KDRT selalu berada di ruang privat. Hari ini kita membawanya ke ruang publik, agar perempuan tahu hak-haknya dan berani melawan,” tegasnya.
Indonesia masih berhadapan dengan darurat kekerasan berbasis gender. Laporan Komnas Perempuan 2023 mencatat lebih dari 339.000 kasus, mayoritas terjadi di rumah ruang yang seharusnya paling aman.
Sebagian besar korban memilih diam karena stigma, ancaman, dan minimnya akses bantuan. Film ini bukan sekadar tontonan. Ia adalah seruan perlawanan, seruan perubahan, dan seruan perlindungan.
Tujuannya membuka tabir kekerasan yang tersembunyi, mendorong para penyintas untuk bersuara, menekan pembuat kebijakan memperkuat perlindungan hukum, membangun solidaritas masyarakat lintas profesi dan komunitas.
Film ini diharapkan menjadi titik balik gerakan nasional yang menentang normalisasi KDRT di Indonesia.
Melalui Suamiku, Lukaku, seni berubah menjadi senjata. Cerita berubah menjadi gerakan. Dan perempuan Indonesia pelan tapi pasti merebut kembali suara mereka. (RDN)












