Deloo.id, Jakarta – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) resmi memberhentikan Nasrul Muhayyang dari jabatannya sebagai Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat, usai terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dalam sidang di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Senin (27/10/2025).
Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Heddy Lugito menegaskan, Nasrul tidak hanya dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir, tetapi juga dicopot dari kursi ketua, meski tetap berstatus sebagai anggota Bawaslu hingga ada keputusan lanjutan.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua kepada Teradu Nasrul Muhayyang, terhitung sejak putusan ini dibacakan,” jelas Heddy saat membacakan putusan perkara nomor 193-PKE-DKPP/IX/2025.
Kasus ‘Adik dan Ijazah Palsu’ yang Menjerat Ketua Bawaslu Sulbar
DKPP mengungkapkan, kasus ini bermula dari tindakan Nasrul yang dengan sengaja tidak melakukan rapat pleno untuk membahas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh adik kandungnya sendiri, Muhammad Syarif Muhayyang, yang merupakan Anggota Bawaslu Kabupaten Mamuju Tengah.
Syarif diketahui membantu salah satu calon bupati, Haris Halim Sinring, dalam memanipulasi ijazah pendidikan sebagai salah satu syarat pendaftaran Pilkada Mamuju Tengah 2024.
Namun alih-alih menindak secara profesional, Nasrul justru tidak menerbitkan surat undangan untuk pleno khusus yang membahas kasus tersebut.
Tindakan itu dinilai tidak profesional, tidak netral, dan tidak akuntabel karena bertentangan langsung dengan prinsip independensi penyelenggara pemilu.
“Tindakan Teradu menunjukkan keberpihakan dan membuka ruang konflik kepentingan. Ia menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh adik kandungnya,” tegas Anggota Majelis I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi saat membacakan pertimbangan putusan.
DKPP: Nasrul Sengaja Buka Ruang Komunikasi Ilegal
Tidak berhenti di situ. Fakta persidangan juga menunjukkan bahwa Nasrul memberi saran langsung kepada Calon Bupati Haris Halim Sinring agar berangkat bersama adiknya, Syarif Muhayyang, ke SMKN 3 Makassar untuk ‘menyelesaikan’ persoalan ijazah yang bermasalah dalam proses verifikasi faktual.
“DKPP menilai tindakan teradu yang memberikan saran kepada calon bupati untuk pergi bersama adiknya guna klarifikasi ijazah merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan,” Raka mengungkapkan.
Langkah tersebut dianggap sebagai bentuk pelanggaran berat, karena membuka ruang komunikasi antara penyelenggara pemilu dan peserta kontestasi. Itu sesuatu yang terlarang secara etik maupun hukum.
Satu Sidang, Dua Perkara, Sembilan Penyelenggara Terlibat
Sidang pembacaan putusan DKPP kali ini tidak hanya menjerat Nasrul. Dalam kesempatan yang sama, lembaga etik ini membacakan dua perkara sekaligus dengan total sembilan penyelenggara pemilu sebagai teradu.
Dari jumlah tersebut, DKPP menjatuhkan beragam sanksi, mulai dari peringatan keras (6 orang), peringatan keras terakhir (1 orang), pemberhentian tetap (1 orang), dan pemberhentian dari jabatan ketua (1 orang) yakni Nasrul Muhayyang.
Sidang dipimpin langsung oleh Ketua DKPP Heddy Lugito, didampingi dua anggota majelis, J. Kristiadi dan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.
Gelombang Etik di Tubuh Penyelenggara Pemilu
Putusan ini menambah daftar panjang pejabat Bawaslu yang dijatuhi sanksi etik menjelang Pemilu 2029.
DKPP menegaskan akan terus memperkuat integritas penyelenggara pemilu, karena kepercayaan publik terhadap demokrasi sangat bergantung pada netralitas dan profesionalitas lembaga pengawas pemilu.
“Tidak ada ruang bagi konflik kepentingan, kolusi, atau intervensi keluarga dalam penyelenggaraan pemilu. Prinsip keadilan dan transparansi harus dijaga,” Heddy menambahkan. (RDN)

 
							










