Deloo.id, Jakarta – Penegakan hukum oleh Kejaksaan RI kembali menjadi sorotan publik sesaat menangani kasus investasi robot trading Fahrenheit yang melibatkan sejumlah jaksa diantaranya Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Hendri Antoro.
Kejaksaan Agung mengambil langkah melakukan pencopotan jabatan kepada Hendri namun menyatakan bahwa ia tidak memiliki niat jahat ketika menerima uang sejumlah Rp 500 juta dari anak buahnya, jaksa Azam Akhmad Ahsya yang telah divonis 9 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 11 September 2025.
Melalui juru bicaranya, Kejaksaan berdalih bahwa Hendri hanya lalai dan belum terbukti adanya mens rea dalam perkara ini.
Kami memandang, kejaksaan kembali tidak menginginkan penuntasan kasus ini hingga tingkat yang lebih tinggi akan tetapi tengah berusaha untuk memutus rantai keterlibatan dengan menghentikannya hanya pada kasus jaksa Azam.
Terkesan kuat jika kejaksaan memberikan perlindungan dan pembelaan yang tidak proporsional kepada orang yang diduga ikut terlibat menerima uang yang seharusnya dikembalikan kepada para korban tindak pidana tersebut.
Sejumlah undang-undang dan peraturan perundang-undangan diantaranya Pasal 4(i) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, dimana menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, baik orang yang menerima sudah sepantasnya dan sepatutnya menduga bahwa pemberian uang ratusan juta rupiah tersebut adalah bentuk pelanggaran serius yang berimplikasi telah terjadinya tindak pidana.
Lebih lanjut kami menilai, langkah yang dilakukan kejaksaan dalam upayanya memberikan perlindungan kepada jaksa penerima uang ini berbanding terbalik dengan komitmen Jaksa Agung yang ingin membersihkan korps Adhyaksa dari para jaksa yang melakukan penyalahgunaan wewenang.
Pembelaan dan perlindungan dengan semangat korsa oleh kejaksaan kepada anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran akan berkonsekuensi hilangnya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap penegakan hukum.
Kami juga kembali mengingatkan Komisi Kejaksaan RI yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan Perpres 18 Tahun 2011. Komisi Kejaksaan seharusnya berada Bersama-sama dengan korban sejak hari pertama kasus ini muncul dan melibatkan sejumlah aparatus dan pimpinan Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.
Tanpa harus menunggu adanya pengaduan korban, sudah sepantasnya Komisi Kejaksaan sebagai pengawas eksternal kejaksaan proaktif dengan terus memperingatkan kejaksaan bahwa dalam perkara ini korban harus berkali-kali menderita karena kejaksaan tidak lagi menjalankan fungsi filosofisnya yaitu mewakili korban dalam perkara tindak pidana
Karenanya, kami mendesak Kejaksaan RI untuk mengusut tuntas kasus ini secara adil, tanpa membeda-bedakan para pelaku serta memberikan hukuman yang setimpal dan bukan hanya menghukum pelanggaran administrasi berupa pencopotan jabatan dan/atau penghentian fungsi jaksa pada Kejaksaan RI.
Sedangkan Komisi Kejaksaan agar melakukan pengawasan secara menyeluruh penanganan terhadap kasus ini.
Jakarta, 15 Oktober 2025
Penulis:
Bhatara Ibnu Reza
Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform (DE JURE)

 
									










